Sori Na, aku khilaf. Beneran, dia nggak berani apa-apa. Aku cuma sayang kamu."
Salah satu sudut bibirku tertarik ke atas, mendengkus sinis mendengar nada mengiba dari cowok berwajah ganteng di hadapanku. Heran, deh, kenapa wajah sedihnya membuat kadar kegantengannya berlipat. Tidak heran ke-playboy-annya susah sembuh.
"Nggak ada alasan, Wa. Inget perjanjian kita, no sorry for cheating. Aku nggak mau ada hubungan sama cowok yang udah nggak menepati janjinya ke aku. Bodohnya aku ngira kamu udah bembah."
Aku menepis tangannya yang memegang pergelangan tanganku, lalu melangkah pergi meninggalkan cafe tempat kami bertemu tadi. Meninggalkan cowok yang sudah setahun ini mengisi hari-hariku.
Namanya Dewa, kami satu jurusan dan satu angkatan di DKV ITS . Dia termasuk salah satu cowok idola di kampus dan kabarnya ia juga playboy, pacarnya sering berganti.
Entah kenapa, aku bilang iya saat setahun lalu dia bilang suka padaku dan ingin jadi pacarku. Mungkin karena aku penasaran bagaimana rasanya pacaran. Mungkin juga karena terlalu sering nonton drama korea romantis, membuatku ingin punya pacar. Mungkin juga karena selama aku mengenalnya, dia selalu bersikap baik padaku.
Semuanya baik-baik saja, sampai kemarin. Aku melihatnya bergulat di sofa dengan seorang gadis yang bukan aku. Bukan berarti aku pernah bergulat di sofa dengannya, atau di mana pun. Bukan begitu gaya pacaran kami.
Hatiku panas mengingat live porn yang kemarin kusaksikan. Gila saja, nonton porn di video saja belum pernah, malah langsung disuguhi yang versi live. Huff
Dewa bilang ia tergoda, sudah setahun tidak melakukannya-sejak pacaran denganku.
Sebelum pacaran denganku, kutahu kehidupan sex-nya cukup aktif. Dewa memohon
agar aku memaafkannya, mengatakan cintanya hanya untukku, tapi hatiku tidak
tergerak.
Bagi dia mungkin selingkuh adalah hal kecil, bagiku selingkuh artinya game oven Fimsh.
Aku Kihana Bethari Tjandra. Hari ini, pertama kalinya merasakan
patah hati. Tidak sesakit yang dikatakan orang- orang. Sedih iya, tapi tidak
sampai membuatku hancur berkeping-keping. Mungkin aku memang belum terlalu memahami
cinta, atau memang belum mengalami apa yang dikatakan orang-orang sebagai cinta
sejati.
Suatu
saat nanti aku pasti akan menemukan lelaki yang akan menjadi cinta sejatiku.
Namun, yang pasti lelaki itu bukan Dewa. Langkahku semakin mantap, meninggalkan
Dewa tanpa menoleh lagi.
Today my first ever relationship officially oven.
❤❤❤
"Makanya masih kecil nggak usah pacar-pacaran."
ltu suara kakaku satu-satunya, Kanaya Larasati Tjandra.
"Kata seseorang yang menikah di usia 22 tahun." Aku mendengkus. "Kalo Kakak lupa, tahun ini aku udah 21."
Aku merebahkan tubuhku di kasur. Handphone aku letakan disebelah bantal. Suara tawa Kak Naya terdengar lewat loudspeaker. Kak Nara tinggal di Jakarta bersama suami dan anaknya. Jadi, curhatku mau tak mau harus melalui telepon.
"Just get over it, Na. Cowok nggak cumu dia." Terdengar nada lembut, tetapi tegas, khas Kak Naya.
Kakakku ini, walaupun dari luar kelihatan lembut dan kalem, tapi aslinya tegas. Beda sekali dengan aku yang dari luar kelihatan tomboy, tidak ada lembut-lembutnya apalagi kalem, tapi aslinya cengeng.
Mungkin karena aku anak bungsu, selisih usiaku dengan kak Naya juga lumayan jauh, sekitar 8 Tahun.
"Dia selingkuh, Dek. Itu udah game over, nggak ada tawar-menawar lagi, awas loh, ya, kamu balik ke dia"?
"Iya...iya," jawabanku lemah. Aka juga gak ada niatan balik ke Dewa, walaupun ia menghubungiku tiap hari.
Untunglah sekarang sedang Iibutan semester, jadi aku
bisa menghindari pertemuan di kampus.
"Jangan
mendekam di rumah terus, Dek. Keluar cari hiburan sama temen-temenmu. Lakukan
hal-hal yang kamu sukai, biar cepat lupa, "
nasehat Kak Naya
"Siap
kakakku yang paling cantik," jawabku dengan perasaan
jauh lebih ringan.
Kakakku ini memang selalu bisa diandalkan. Dia selalu
tenang, selalu optimis, benar-benar sesuai dengan deskripsi perempuan kuat, dan
mandiri. Bahkan perceraiannya lima tahun lalu tidak membuatnya terpuruk,
karirnya justru semakin sukses. Tiga tahun lalu, ia iuga sudah menikah lagi dan
mempunyai seorang putri cantik, keponakanku yang super lucu dan imut Karina yang baru berumur 2
tahun.
"Kamu
pergi Iiburan aja, deh, Dek. Mumpung kamu lagi Iibur semester, kan? Ke Bali,
mau?' tawar Kak Naya.
"Seriusan? Kak Naya jangan terlalu baik, deh, nanti aku terharu," balasku sungkan.
"Ga mau nih artinya?" goda Kak Naya.
"Ya, maulah. Bali gitu, lhoo!" Aku tertawa bahagia.
"Ciih, sebentar sedih sebentar ketawa, labil kamu, Dek. Gitu katanya cinta sama Dewa, " ejek Kak Naya.
"Aku lean punya Kakak yang super cantik dan super baik, paling ngerti cara menghibur hati adiknya yang sedang lara. Denger Bali, hatiku yang patah langsung nyambung lagi."
Kak Naya cuma mendengkus mendengar gombalanku.
"Udah sana pesen tiket, nanti Kakak transfer uangnya. Tinggalnya di vilanya Tama aja, ya, pasti dapet diskon atau malah gratis. Kan, lumayan pengiritan, " kekeh Kak Naya.
Tama? Nama itu terdengar familiar. Namun, masa yang climaksud Kak Naya Tama 'yang itu?
''Mas Tama maksudnya? Pratama Natha Antasena?" tanyaku, menyebutkan nama mantan suami kakakku.
"Iyaaa,
Tama. Dia kan sekarang stay di Bali, buka perusahaan Design and Build gitu sama
temennya. Sekarang dia malah bangun vila-vila disewain, " tetang kak Naya panjang lebar.
Aku
melongo, tidak menyangka kalau ternyata Kak Naya masih berkomunikasi dengan
mantan suaminya. Aku tidak pet-nah bertemu Mas Tama lagi semeniak mereka pisah
lima tahun lalu. Mas Tama bagai hilang ditelan bumi dan ternyata terdampar di Bali.
"Kak Nay masih sering komunikasi sama Mas Tama?" tanyaku penasaran. Apa suaminya
sekatang nggak marah?
"Ya, lumayan, lingkungan pertemanan kami kan hampir
sama, Dek, masih ada grup WA kampus. Kami juga dulunya pisah baik-baik, jadi ya
gitu, deh, "
jelas kak Naya.
"Nanti aku telepon Tama, deh, biar disiapin satu
Vila buat menghibur adikku yang lagi patah hati, " godanya.
"Nggak
apa-apa, kah, Kak? Nggak enak, nih, aku sama Mas Tama"
Aku hanya bisa mengiyakan sambil mengingat- ingat tentang Mas Tama. Aku tidak terlalu akrab dengannya. Mungkin karena selisih umur kami cukup jauh. Mas Tama seumuran Kak Naya. Mereka mulai pacaran Saat kuliah, Saat itu aku masih SD.
Lulus kuliah
mereka langsung menikah, Saat itu aku masih SMP. Masa-masa SMP dan SMA aku
termasuk anak yang sangat cuek, lebih sering mengurung diri di kamar sambil
menggambar. Usia pernikahan mereka hanya dua tahun dan selama itu pula mereka
tinggal di Jakarta.
Jadi, aku
termasuk sangat jarang bertemu Mas Tama. Aku juga tidak terlalu mengerti alasan
mereleka berpisah.
"Eh, udah dulu, ya, Dek. Mas Ivan manggil,
nih. Nanti Kakak kabari lagi kepastiannya," pamit Kak Naya. Mas Ivan itu nama suami Kak
Naya yang sekarang.
"Okgy, Kak, salam buat Mas Ivan Sama
Karina, yaaa,"
seruku sebelum menutup telepon.
