Mantan Kakak Ipar Rasa Pacar BAB II

        Bandara Ngurah Rai selalu ramai, apalagi saat weekend seperti Sabtu pagi ini dan semakin ramai karena bertepatan dengan Iibur semester, Aku melangkahkan kaki yang terbalut jeans belel biru pudar dan sepatu kets putih keluar dari pintu kaca yang membatasi terminal kedatangan dan area peniemputan. 

        Hari ini aku mengenakan tankop merah dilapisi kemeja putih. Rambut cokelat gelapku tergerai sepundak.

 

Mantan Kakak Ipar Rasa Pacar

        Aku menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sosok Mas Tama yang kuingat. Terakhir aku bertemu dengannya sekitar lima tahun yang lalu, jadi kalau penampilan Mas Tama berubah bisa jadi aku tidak akan mengenalinya.

        Namun, sepasang mataku langsung menangkap sosok yang berdiri bersandar di salah satu pilar yang ada di area penjemputan. 

        Sosok jangkung dengmn badan tegap, mengenalcan kemeja putih yang bagian lengannya digulung hingga siku, dan celana jeans belel yang membungkus kakinya yang panjang. Kulitnya kecokelatan, mungkin karena sering terpapar teriknya sinar matahari Bali. Rambutnya hitam, dipotong pendek rapi, tapi tidak kelimis—tidak terlihat ada sentuhan gel di sana. 

        Seakan menyadari pengamatan jarak jauhku, wajahnya yang sedari tadi menunduk memandang handphone yang ada di tangannya, tiba-tiba terangkat. Matanya yang sendu bertemu dengan mataku yang salah tingkah. 

        Tak ada senyum di wajahnya Saat ia melangkah mendekatiku. Aku terdiam di tempatku berdiri. Kakiku seakan terpaku, tak mampu bergerak. Sepasang kaki yang hanya terbalut sandal kulit hitam berhenti sekitar satu meter di hadapanku. 

        "Kihana?" Suaranya yang berat terdengar dalam nada Tanya. 

        Hatiku berdesir. Ya ampuun, mantan suami kakakku ternyata ganteng banget. Kenapa juga aku harus berurusan lagi dengan tipe cowok berwaiah ganteng dan bermata sayu.

        Hati adek, kan, tidak sekuat itu.

❤❤

        Sudah lima belas menit kami teriebak kemacetan di pintu keluar bandara. Sinar matahari Bali ternyata sangat panas. Syukurnya hembusan udara dari AC di mobil terasa sejuk menyentuh kulitku, dan membantu menenangkan debaran jantungku.

        'Ya ampun, Hana, dia cuma mantan suami kakakmu, nggak usah salah tingkah gitu deh,' batinku

        "Makasih, ya, Mas udah jemput. Sorry ngerepotin,” ucapku berusaha memecahkan kesunyian di dalam mobil yang tercipta semenjak kami masuk ke mobil Jeep Cberokee putih milik Mas Tama.

        "No problem.”

        Suara berat itu lagi. Pandangannya tetap lurus ke depan. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk setir, seakan tidak sabar ingin terbebas dari kemacetan ini. Atau mungkin tidak sabar ingin terbebas dariku-adik mantan Istrlnya.

        Aku semakin sungkan. Dari dulu aku tidak pernah terlalu akrab dengannya, dan sudah sangat lama seiak terakhir kali kami berternu. Sekarang kami sama saja seperti orang asing. Namun, ia harus meluangkan waktunya untuk menjemputku, menyiapkan Vila untukku, bahkan kata Kak Naya, aku tidak usah sungkan minta Mas Tama menjadi guide-ku selama di Bali.

        Aku bergidik ngeri, membayangkan suasana hening dan awkward seperti ini yang harus selalu kuhadapi kalau aku minta ia jadi guide-ku.

        "Kamu kedinginan?"

        Suara lelaki di sebelahku terdengar, mengusikku dari lamunan.

        Eh, nggak kok, Mas, panas banget malah," jawabku pelan.

        "Oh." Sudah. Dia diam lagi. Mobil mulai berjalan, walaupun tiap beberapa menit berhenti, karena padatnya lalu lintas.

        'Hmm, Mas Tama vilanya di daerah mana, ya?" tanyaku ingin tahu. 

        "Jimbaran ada, Sanur ada, Ubud ada, Bedugul juga ada. Terserah kamu pengennya di mana," jawabnya santai.

        Aku melongo. Memang vilanya dia ada berapa?

        "Vila Mas banyak, ya?"

        "lya."

        "Sombong."

        Dia menoleh cepat, UPs, keceplosan. Aku pikir aku hanya mengucapkannya dalam hati.

        "Sorry"," cicitku lirih. Mas Tama mendengkus.

        "Bukan sombong. Memang kenyataan. Aku nggak tahu kamu mau jalan-jalan ke mana, jadi aku minta stafku buat mengosongkan masing-masing satu Vila. Musim Iiburan kayak gini biasanya vila-vila full," jelasnya.

        "Satu aja, Mas, nggak usah banyak-banyak. Nanti Mas Tama rugi, lho, kalo vilanya banyak yang dikosongin. Lagian kata Kak Naya, vilanya digratisin sama Mas Tama. Kan, aku jadi nggak enak," ucapku hati-hati.

        Mas Tama cuma melirikku sekilas, salah satu sudut bibirnya tertarik sedikit membentuk senyum nggak niat. "Ck, nggak bakalan rugi. Santai aja." 

        "Tuh, kan, beneran sombong." Aku merengut. Sudut bibirnya tertarik ke atas lagi, kali ini terlihat lebih niat.

        "Kamu sekarang sudah SMA, ya, Na?" tanyanya.

        "Sembarangan! Aku udah kuliah, Mas. Udah mau lulus ini tinggal skripsi." Enak aja aku dikira anak SMA.

        Waiahku memang imut, tapi body-ku ielas bukan body anak-anak. Bahkan banyak yang bilang aku sexy'. Walaupun kadang aku suka risih dengan ukuran dadaku yang lumayan besar. Cukup merepotkan saat aku sedang main basket, dan agak tidak match sama wajahku yang imut. Ini bukan sombong, memang kenyataan.

        'Nggak kerasa, ya. Terakhir ketemu seingatku kamu masih bocah," ucap Mas Tama sambil melirikku sekilas.

        "Ya, itu udah bertaon-taon yang lalu, Mas, dan waktu itu aku udah SMA, bulean bocah," jawabku ketus.

        Salahkan tinggiku yang mentok di 155 cm, walaupun rajin basket sehingga sering dianggap bocah. Mas Tama terkekeh, ternyata bisa juga dia ketawa.

        "Kamu kuliah di mana? jurusan apa?"

        "ITS, Mas, ambil DKV." Mas Tama manggut manggut.

        "Kamu emang hobby gambar, ya."

        Aku menaikkan alis, tidak menyangka ia tahu kalau aku suka menggambar.

        "Dulu pas kakakmu nikah, kamu beri hadiah gambar dia pake baju pengantin. Bagus banget gambarny«a," pujinya

        Ingatanku melayang Saat Kak Naya menikah, waktu itu aku masih SMP, teknik gambarku pasti belum sebagus sekarang. Namun, aku ingat gambar itu, gambar portrait Kak Naya yang terlihat sangat cantik mengenakmn kebaya putih.

        Aku melirik Mas Tama, ingin melihat reaksinya. Masihkah kenangan tentang kakakku membuat hatinya sakit? Apakah cintanya untuk seorang Ka Naya belum luntur oleh waktu? Namun, wajah Mas Tama tetap terlihat santai, tidak menunjukkan ekspresi melankolis. Apa aku yang terlalu drama mengharapkan ada tetesan air mata?

        "Apaan, sib, Mas, jadi kacau nih rambutku." Aku berusaha merapikan rambutku. Dia cuma terkekeh geli.

        "Udah lima tahun, Na. Kami juga pisah baik- baik. Mungkin kami memang lebih cocok jadi teman. Sama Mas Ivan juga aku kenal baik, kok, dia salah satu klienku" jelasnya.

        "Oooo jadi Mas Tama tadi ngedrama buat nipu aku," seruku gusar.

        "Ya, kamunya lucu, baru ketemu udah kepo. Mana gampang banget lagi ditipu." la tertawa sambil lagi-lagi mengacak rambutku.

        '%Mas Tamaaa…………. ah!" teriakku kesal.

❤❤❤