Bandara Ngurah
Rai selalu ramai, apalagi saat weekend seperti Sabtu pagi ini dan semakin ramai
karena bertepatan dengan Iibur semester, Aku melangkahkan kaki yang terbalut
jeans belel biru pudar dan sepatu kets putih keluar dari pintu kaca yang
membatasi terminal kedatangan dan area peniemputan.
Hari ini aku
mengenakan tankop merah dilapisi kemeja putih. Rambut cokelat gelapku tergerai
sepundak.
Aku menoleh ke kanan dan
ke kiri mencari sosok Mas Tama yang kuingat. Terakhir aku bertemu dengannya
sekitar lima tahun yang lalu, jadi kalau penampilan Mas Tama berubah bisa jadi
aku tidak akan mengenalinya.
Namun, sepasang mataku
langsung menangkap sosok yang berdiri bersandar di salah satu pilar yang ada di
area penjemputan.
Sosok jangkung dengmn
badan tegap, mengenalcan kemeja putih yang bagian lengannya digulung hingga
siku, dan celana jeans belel yang membungkus kakinya yang
panjang. Kulitnya kecokelatan, mungkin karena sering terpapar teriknya sinar
matahari Bali. Rambutnya hitam, dipotong pendek rapi, tapi tidak kelimis—tidak
terlihat ada sentuhan gel di sana.
Seakan menyadari
pengamatan jarak jauhku, wajahnya yang sedari tadi menunduk memandang handphone yang
ada di tangannya, tiba-tiba terangkat. Matanya yang sendu bertemu dengan mataku
yang salah tingkah.
Tak ada senyum di
wajahnya Saat ia melangkah mendekatiku. Aku terdiam di tempatku berdiri. Kakiku
seakan terpaku, tak mampu bergerak. Sepasang kaki yang hanya terbalut sandal
kulit hitam berhenti sekitar satu meter di hadapanku.
"Kihana?"
Suaranya yang berat terdengar dalam nada Tanya.
Hatiku berdesir. Ya
ampuun, mantan suami kakakku ternyata ganteng banget. Kenapa juga
aku harus berurusan lagi dengan tipe cowok berwaiah ganteng dan bermata sayu.
Hati adek, kan, tidak
sekuat itu.
❤❤❤
Sudah lima belas menit kami
teriebak kemacetan di pintu keluar bandara. Sinar matahari Bali ternyata sangat
panas. Syukurnya hembusan udara dari AC di mobil terasa sejuk menyentuh
kulitku, dan membantu menenangkan debaran jantungku.
'Ya ampun, Hana, dia
cuma mantan suami kakakmu, nggak usah salah tingkah gitu deh,' batinku
"Makasih, ya, Mas udah
jemput. Sorry ngerepotin,” ucapku berusaha memecahkan
kesunyian di dalam mobil yang tercipta semenjak kami masuk ke
mobil Jeep Cberokee putih milik Mas
Tama.
"No problem.”
Suara berat itu lagi.
Pandangannya tetap lurus ke depan. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk setir, seakan
tidak sabar ingin terbebas dari kemacetan ini. Atau mungkin tidak sabar ingin terbebas dariku-adik mantan Istrlnya.
Aku semakin sungkan.
Dari dulu aku tidak pernah terlalu akrab dengannya, dan sudah sangat lama seiak
terakhir kali kami berternu. Sekarang kami sama saja seperti orang asing.
Namun, ia harus meluangkan waktunya untuk menjemputku, menyiapkan Vila untukku,
bahkan kata Kak Naya, aku tidak usah sungkan minta Mas Tama menjadi guide-ku
selama di Bali.
Aku bergidik ngeri,
membayangkan suasana hening dan awkward seperti ini yang harus
selalu kuhadapi kalau aku minta ia jadi guide-ku.
"Kamu
kedinginan?"
Suara lelaki di
sebelahku terdengar, mengusikku dari lamunan.
Eh, nggak kok, Mas,
panas banget malah," jawabku pelan.
"Oh." Sudah. Dia diam lagi. Mobil mulai berjalan, walaupun tiap beberapa menit
berhenti, karena padatnya lalu lintas.
'Hmm, Mas Tama vilanya
di daerah mana, ya?" tanyaku ingin tahu.
"Jimbaran
ada, Sanur ada, Ubud ada, Bedugul juga ada. Terserah kamu pengennya di
mana," jawabnya santai.
Aku
melongo. Memang vilanya dia ada berapa?
"Vila
Mas banyak, ya?"
"lya."
"Sombong."
Dia
menoleh cepat, UPs, keceplosan. Aku pikir aku hanya mengucapkannya dalam hati.
"Sorry","
cicitku lirih. Mas Tama mendengkus.
"Bukan
sombong. Memang kenyataan. Aku nggak tahu kamu mau jalan-jalan ke mana, jadi
aku minta stafku buat mengosongkan masing-masing satu Vila. Musim Iiburan kayak
gini biasanya vila-vila full," jelasnya.
"Satu
aja, Mas, nggak usah banyak-banyak. Nanti Mas Tama rugi, lho, kalo vilanya
banyak yang dikosongin. Lagian kata Kak Naya, vilanya digratisin sama Mas Tama.
Kan, aku jadi nggak enak," ucapku hati-hati.
Mas
Tama cuma melirikku sekilas, salah satu sudut bibirnya tertarik sedikit
membentuk senyum nggak niat. "Ck, nggak bakalan rugi. Santai
aja."
"Tuh, kan, beneran sombong." Aku merengut. Sudut bibirnya
tertarik ke atas lagi, kali ini terlihat lebih niat.
"Kamu sekarang sudah SMA, ya, Na?" tanyanya.
"Sembarangan! Aku udah kuliah, Mas. Udah mau lulus ini tinggal skripsi." Enak aja aku dikira anak SMA.
Waiahku memang imut, tapi body-ku ielas bukan body anak-anak.
Bahkan banyak yang bilang aku sexy'. Walaupun kadang aku suka risih dengan
ukuran dadaku yang lumayan besar. Cukup merepotkan saat aku sedang main basket,
dan agak tidak match sama wajahku yang imut. Ini bukan sombong, memang
kenyataan.
'Nggak kerasa, ya. Terakhir ketemu seingatku kamu
masih bocah,"
ucap Mas Tama sambil melirikku sekilas.
"Ya, itu udah bertaon-taon yang lalu, Mas, dan waktu itu aku udah
SMA, bulean bocah," jawabku ketus.
Salahkan tinggiku yang mentok di 155 cm, walaupun rajin basket sehingga
sering dianggap bocah. Mas Tama terkekeh, ternyata bisa juga dia ketawa.
"Kamu kuliah di mana? jurusan apa?"
"ITS, Mas, ambil DKV." Mas Tama manggut manggut.
"Kamu emang hobby gambar, ya."
Aku menaikkan alis, tidak menyangka ia tahu kalau aku suka menggambar.
"Dulu pas kakakmu nikah, kamu beri hadiah gambar dia pake baju
pengantin. Bagus banget gambarny«a," pujinya
Ingatanku melayang Saat Kak Naya menikah, waktu itu aku masih SMP,
teknik gambarku pasti belum sebagus sekarang. Namun, aku ingat gambar itu,
gambar portrait Kak Naya yang terlihat sangat cantik mengenakmn kebaya putih.
Aku melirik Mas Tama, ingin melihat reaksinya. Masihkah kenangan tentang
kakakku membuat hatinya sakit? Apakah cintanya untuk seorang Ka Naya belum
luntur oleh waktu? Namun, wajah Mas Tama tetap terlihat santai, tidak
menunjukkan ekspresi melankolis. Apa aku yang terlalu drama mengharapkan ada tetesan
air mata?
"Apaan,
sib, Mas, jadi kacau nih rambutku." Aku berusaha merapikan rambutku. Dia
cuma terkekeh geli.
"Udah
lima tahun, Na. Kami juga pisah baik- baik. Mungkin kami memang lebih cocok
jadi teman. Sama Mas Ivan juga aku kenal baik, kok, dia salah satu
klienku"
jelasnya.
"Oooo
jadi Mas Tama tadi ngedrama buat nipu aku," seruku gusar.
"Ya,
kamunya lucu, baru ketemu udah kepo. Mana gampang banget lagi ditipu." la tertawa sambil lagi-lagi
mengacak rambutku.
'%Mas
Tamaaa…………. ah!" teriakku kesal.
❤❤❤
