Ini beneran Vila punya Mas?" Aku menatap takiub pada Vila mewah di hadapanku.
'lya, yang di Jimbaran
cuma satu ini. Kadang aku tinggal di sini, kalo lagi suntuk sama kerjaan," jawab Mas Tama sambil menurunkan
koperku dari bagasi mobil.
"Ayo masuk, Na. Jangan bengong aja!"
Dia berdecak nggak
sabaran melihat aku yang cuma melongo. Gimana nggak melongo, Vilanya keren
banget. Desainnya unik dengan atap miring dari jerami. Lengkap dengan private
pool ditengah-tengah taman landscape tropis yang indah. Ruang makan
dan ruang tamunya berkonsep terbuka. Di teras ada dua kursi santai yang
langsung menyuguhkan pemandangan kolam dan taman.
"This is your
mom.
Mas Tama meletakkan koperku di sebuah kamar luas bernuansa putih dan
cokelat kayu yang kelihatan sangat nyaman, diterangi oleh cahaya matahari yang
tertumpah bebas lewat jendela-jendela kaca besar.
"Keren! Mas Tama desain sendiri?" tanyaku kagum
"Iyalah," jawabnya singkat.
"Oooh arsitek beneran ternyata," gumamku.
"Aduh!" Mas Tama menjitak kepalaku ringan. Aku merengut sambil
mengusap kepala.
"Ya, beneranlah, masak gadungan!" ucap Mas Tama sambil melangkah ke ruang depan,
mengempaskan tubuh jangkungnya ke sofa yang menghadap ke kolam renang. Aku
mengikuti langkah Mas Tama lalu duduk di sebelahnya.
"Tapi ini bagus banget, Mas, pasti mahal, Aku jelas nggak sanggup
buat bayar sewanya," kataku serlus.
Kak Naya memang bilang ini gratis. Namun, dari awal aku sudah berniat membayar. Walaupun masih kuliah, aku punya penghasilan sendiri dari pekerjaanku sebagai ilustrator freelance di sebuah surat kabar ternama di Surabaya. Bayarannya lumayan untuk anak kuliahan sepertiku. Namun, bukan berarti aku rela menghamburkan uang untuk sebuah Vila mewah yang hanya akan digunakan untuk tidur.
"Siapa yang suruh kamu bayar?" tukasnya tak
acuh.
"Ya, aku nggak mau tinggal di sini gratisan, tapi kalo disuruh
bayar aku juga nggak sanggup. Anterin aku cari hotel budget aja, yuk,
Mas," aiakku.
Mas Tama menggeleng malas. "Capek, Na, macet pasti di
ialan. Daripada kamu ngerepotin aku buat keliling cari hotel, mending di sini
aia. Beres nggak pake ribet," balasnya santai.
'Tapi kan….."
''Udah, nggak ada tapi-tapian. Aku ngantuk, tadi bangun pagi-pagi banget buat jemput. amu cari tiketnya nggak ada yang lebih pagi lagi apa?" sindirnya. "Mas tidur bentar, ya, nanti agak siangan kita jalan-jalan."
Mas Tama bangkit lalu melangkah ke dalam Vila.
"Mas Tama tidur di mana?" Aku bertanya heran.
"Ya, di kamarlah masa di kolam?" Bola mataku berputar mendengar jawaban ngawurnya.
“lya, ngerti di kamar, tapi kamarnya di mana? Di Vila ini juga?"
tanyaku memastikan.
Mas Tama menggangguk. "lya, di sini ada dua kamar. Kamu di kamar
yang tadi, aku di kamar satunya," ielasnya
"Nanti malam iuga?" Mataku membola tak percaya.
"Iyalah, sepanjang kamu di Bali aku tinggal di
sini. Biar gampang ke mana-mana. Rumahku jauh, ribet mesti bolak-balik."
Keningku berkerut, membayangkan harus tinggal serumah dengan lelaki yang
baru kutemui 2 jam yang lalu. Mas Tama tampaknya mengerti kebingunganku. Dia
menghela napaS, lalu duduk di salah satu kursi di hadapanku.
"Kalo kamu nggak nyaman, siang ini aja aku
numpang tidur di sini. Nanti malem aku balik ke rumah. Sony, leadang aku nggak
peka tentang hal-hal semacam Int," ucapnya setalus.
Aku cuma mengangguk. "Mas Tama nggak marah?"
