Mantan Kakak Ipar Rasa Pacar BAB III

        Ini beneran Vila punya Mas?" Aku menatap takiub pada Vila mewah di hadapanku.

        'lya, yang di Jimbaran cuma satu ini. Kadang aku tinggal di sini, kalo lagi suntuk sama kerjaan," jawab Mas Tama sambil menurunkan koperku dari bagasi mobil.

        "Ayo masuk, Na. Jangan bengong aja!"

Mantan Kakak Ipar Rasa Pacar

        Dia berdecak nggak sabaran melihat aku yang cuma melongo. Gimana nggak melongo, Vilanya keren banget. Desainnya unik dengan atap miring dari jerami. Lengkap dengan private pool ditengah-tengah taman landscape tropis yang indah. Ruang makan dan ruang tamunya berkonsep terbuka. Di teras ada dua kursi santai yang langsung menyuguhkan pemandangan kolam dan taman.

"This is your mom.

        Mas Tama meletakkan koperku di sebuah kamar luas bernuansa putih dan cokelat kayu yang kelihatan sangat nyaman, diterangi oleh cahaya matahari yang tertumpah bebas lewat jendela-jendela kaca besar.

        "Keren! Mas Tama desain sendiri?" tanyaku kagum

        "Iyalah," jawabnya singkat.

        "Oooh arsitek beneran ternyata," gumamku.

        "Aduh!" Mas Tama menjitak kepalaku ringan. Aku merengut sambil mengusap kepala.

        "Ya, beneranlah, masak gadungan!" ucap Mas Tama sambil melangkah ke ruang depan, mengempaskan tubuh jangkungnya ke sofa yang menghadap ke kolam renang. Aku mengikuti langkah Mas Tama lalu duduk di sebelahnya.

        "Tapi ini bagus banget, Mas, pasti mahal, Aku jelas nggak sanggup buat bayar sewanya," kataku serlus.

        Kak Naya memang bilang ini gratis. Namun, dari awal aku sudah berniat membayar. Walaupun masih kuliah, aku punya penghasilan sendiri dari pekerjaanku sebagai ilustrator freelance di sebuah surat kabar ternama di Surabaya. Bayarannya lumayan untuk anak kuliahan sepertiku. Namun, bukan berarti aku rela menghamburkan uang untuk sebuah Vila mewah yang hanya akan digunakan untuk tidur.

        "Siapa yang suruh kamu bayar?" tukasnya tak acuh.

        "Ya, aku nggak mau tinggal di sini gratisan, tapi kalo disuruh bayar aku juga nggak sanggup. Anterin aku cari hotel budget aja, yuk, Mas," aiakku.

        Mas Tama menggeleng malas. "Capek, Na, macet pasti di ialan. Daripada kamu ngerepotin aku buat keliling cari hotel, mending di sini aia. Beres nggak pake ribet," balasnya santai.

        'Tapi kan….."

        ''Udah, nggak ada tapi-tapian. Aku ngantuk, tadi bangun pagi-pagi banget buat jemput. amu cari tiketnya nggak ada yang lebih pagi lagi apa?" sindirnya. "Mas tidur bentar, ya, nanti agak siangan kita jalan-jalan."

        Mas Tama bangkit lalu melangkah ke dalam Vila.

        "Mas Tama tidur di mana?" Aku bertanya heran.

        "Ya, di kamarlah masa di kolam?" Bola mataku berputar mendengar jawaban ngawurnya.

        “lya, ngerti di kamar, tapi kamarnya di mana? Di Vila ini juga?" tanyaku memastikan.

        Mas Tama menggangguk. "lya, di sini ada dua kamar. Kamu di kamar yang tadi, aku di kamar satunya," ielasnya

        "Nanti malam iuga?" Mataku membola tak percaya.

        "Iyalah, sepanjang kamu di Bali aku tinggal di sini. Biar gampang ke mana-mana. Rumahku jauh, ribet mesti bolak-balik."

        Keningku berkerut, membayangkan harus tinggal serumah dengan lelaki yang baru kutemui 2 jam yang lalu. Mas Tama tampaknya mengerti kebingunganku. Dia menghela napaS, lalu duduk di salah satu kursi di hadapanku.

        "Kalo kamu nggak nyaman, siang ini aja aku numpang tidur di sini. Nanti malem aku balik ke rumah. Sony, leadang aku nggak peka tentang hal-hal semacam Int," ucapnya setalus.

        Aku cuma mengangguk. "Mas Tama nggak marah?"